Minggu, September 13, 2009

Cerpen Iseng

hmmmm...kemaren lage iseng pengen ngubek2 kamar...sekalian melakukan inspeksi barang2 sampah..hahahaha..eh, ga tau nyah nemuin cerpen bikinan dewe waktu jaman SMA..hohoho...pikir2 lage...knapa ga coba di share di blog??? meskipun blog ini tercipta tanpa sengaja gara2 tugas Teknik Simulasi (tapi ternyata bikin blog menyenangkan juga..pantesan sahabat2quw mulai sahabat SMA ampe kuliah keranjingan nge-blog)...

cerpen ini cuman cerpen sederhana dan amatir..jadi terucap kata maap jika banyak kekurangan. jika ada kesamaan nama, karakter, atau cerita jelas bukan atas unsur kesengajaan..

Permintaan Terakhir

Tangan itu kini sudah tak seperti dulu lagi. Tangan itu kini tak lebih dari tulang kering yang hanya terbungkus kulit yang semakin keriput. Tangan yang dulu sering membelaiku sebelum tidur, mengusap air mataku saat aku tak bisa bersikap sebagai laki-laki jantan sewaktu berkelahi dengan teman-temanku, dan tangan yang sering menyuapiku makan saat aku sedang terbaring sakit. Dan setiap kali mataku memandang sosok tua yang lemah dan tak berdaya itu sedang terbaring di pembaringan yang hanya beralaskan seprai tipis, rasanya aku tak sanggup bertahan hidup di dunia ini. Ingin rasanya aku menggantikan penderitaannya yang tak kunjung berakhir. Penyakit yang sampai sekarang dianggap aib oleh semua orang itu telah mengambil senyum ibuku yang dulu sering kulihat. Ibuku positif mengidap penyakit AIDS. Penyakit itu datang tanpa pernah kusangka sebelumnya. Ibuku tertular penyakit yang hingga sekarang belum ada obatnya itu setelah mendonorkan darah di rumah sakit terpencil di kotaku. Jarum yang digunakan adalah jarum bekas yang tidak disterilkan terlebih dahulu. Ingin rasanya aku marah pada pihak rumah sakit atau pada orang yang telah tega menularkan penyakit mematikan ini pada ibuku, namun tiap kali kuutarakan niatku ini pada ibuku, tiap kali itulah aku hanya mendapat senyuman dan jawaban yang singkat agar aku bersikap lebih dewasa dan lebih sabar. Aku iri pada ketabahan yang ditunjukkan ibuku. Aku malu sebagai laki-laki mengapa aku tak bisa bersikap seperti bapak yang bisa membimbing ibu sebelum bapak meninggal dunia. Sebagai gantinya justru ibulah yang selalu membimbingku hingga aku dewasa.

Kupegang sekali lagi tangan tua itu. Kupastikan ibu sudah terlelap. Lalu aku mulai beranjak dari tempat tidurnya dan mulai memasuki kamarku. Malam ini aku sulit sekali untuk memejamkan mata. Aku masih teringat permintaan ibu yang sering diutarakannya padaku, katanya itu adalah permintaan ibu yang terakhir sebelum ibu meninggal dunia. Tak pernah kubayangkan bagaimana hidupku tanpa sosok ibu di sampingku. Tapi permintaan itulah yang sering mengusikku akhir-akhir ini. Permintaan sederhana dari seorang ibu. Ibu ingin melihatku menikah. Sebenarnya permintaan itu bagiku tidaklah sulit. Aku sudah mempunyai calon. Dia adalah anak dari seorang kyai di kampungku. Aisyah, namanya. Wanita sederhana yang mempunyai senyum termanis yang pernah kulihat serta berbagai akhlak terpuji. Dan masalah menikah sering disinggung berulang kali oleh ayah Aisyah, Kyai Slamet. Beliau ingin aku segera melamar Aisyah sehingga aku dan Aisyah tak akan terjerumus terlalu jauh pada lembah dosa yang bernama pacaran. Tapi keadaanlah yang selama ini melarangku untuk tidak bertindak gegabah. Semua orang di kampungku tak pernah tau bahwa ibuku mengidap AIDS. Mereka semua hanya tahu kalau ibuku sakit parah. Jika aku melamar Aisyah, tentu saja Aisyah beserta keluarganya akan tahu kondisi ibuku yang sebenarnya. Dan aku pasti akan malu setengah mati. Harga diri seorang laki-lak sepertiku pasti akan tercoreng. Mereka pasti akan berpikiran jelek tentang ibuku. Rasanya aku belum kuat untuk menghadapi itu.

Adzan subuh kudengar sayup-sayup dari surau di sebelah bukit. Aku beranjak bangun dan kumulai sholat untuk menenangkan batinku serta mengucap syukur pada Allah. Setelah sholat, aku menengok ibuku serta membawakan baskom berisi air untuk wudhu. Seperti biasanya ibuku sholat dalam keadaan terbaring di dipan kecilnya. Tubuhnya benar-benar tak bisa digerakkan. Erangan-erangan itu masih saja kudengar. Tiap kali kudengar erangan itu tiap malam, tiap kali itulah aku meneteskan air mata seraya mengucapkan asma Allah dalam hati agar aku diberi kesabaran dan ketenangan batin.

Sebelum aku berangkat kerja, ibu masih sempat mengucapkan permintaan terakhirnya lagi padaku. Dan seperti sebelum-sebelumnya aku hanya mengucapkan insya Allah dan kucium keningnya sambil mengucapkan salam. Dalam perjalanan, pikiranku mulai berkecamuk tak karuan. Sampai kerja pun aku benar-benar tak bisa konsentrasi. Di satu sisi, aku ingin melaksanakan permintaan terakhir ibuku, namun di sisi lainnya aku benar-benar merasa malu atas kondisi ibu, apa kata orang nanti. Lalu apakah Kyai Slamet mau menerima kalau aku adalah anak dari seorang ibu pengidap AIDS, apakah Aisyah juga mau menerima aku sebagai suaminya. Aku belum siap dan aku belum rela jika aku harus melihat reaksi keluarga Aisyah yang akan menolakku. Tapi, tak ada jalan lain aku harus mencoba, tak ada satu orang pun yang tahu kapan usia ibu akan berakhir dan aku tak mau membuatnya kecewa. Jika ini adalah jalan satu-satunya yang harus kutempuh maka aku rela menempuhnya asal aku bisa melihat senyum cerah ibu seperti dulu lagi. Aku segera membuat keputusan, selepas pulang kerja aku akan segera mengunjungi rumah Aisyah guna membicarakan ini.

Tanganku masih saja mengeluarkan keringat. Aku benar-benar tegang. Melihat Kyai Slamet di hadapanku seperti ini rasanya berat untuk memulai suatu pembicaraan. Namun, wajah Kyai Slamet masih saja sabar menunggu kata-kataku yang sudah ada di ujung lidah. Kubaca bismillah dalam hati dan mulai kuutarakan permasalahan yang mengganjal dalam hatiku. Selesai bicara, kuhembuskan nafas mencoba mengatur gejolak di dalam dadaku meskipun itu tidak banyak membantu sama sekali. Kupandangi wajah Kyai Slamet diam-diam. Nampaknya beliau sedang berpikir. Kulihat mulutnya terbuka, kutunggu kata-kata yang akan muncul. Tapi mulut itu tertutup lagi. Lama kutunggu jawaban yang akan dilontarkan, namun jawaban itu tak kunjung muncul jua. Pupuslah sudah harapan-harapanku. Kubayangkan wajah ibuku yang tak akan tersenyum lagi.

Selama perjalanan pulang ke rumah, aku ingin segera menemui ibuku. Mencium tangannya dan memohon restunya. Ya, ternyata lamaran yang sudah kuajukan diterima. Kyai Slamet memintaku untuk datang kembali bersama ibu dan beberapa keluarga besarku yang sudah tinggal sedikit untuk melamar Aisyah secara resmi. Kubuka pintu depan tanpa mengucap salam. Langsung saja aku lari menuju kamar ibuku. Kali ini aku pasti akan melihat senyum yang sudah bertahun-tahun tak pernah kulihat lagi. Senyum itu pasti akan menghiasi wajah ibuku. Kubuka pintu kamarnya. Kulihat mata ibu terpejam. Rupanya ibu sedang tidur, mungkin juga sedang mimpi indah karena kulihat senyum samar di bibirnya. Kudekati ibu dan kucium keningnya. Dingin. Kening ibu sangat dingin. Kupegang tangan, kaki, semuanya dingin. Tak terasa air mataku mulai membasahi wajah ibu. Aku menangis seperti dulu lagi saat aku kalah dalam berkelahi semasa kecil. Bedanya kali ini tak ada lagi tangan lembut yang mengusap air mataku.

Innalillahi wainaillahi roji'un. Ya Allah, semoga Kau menerima arwah ibu yang paling aku sayangi ini di sisi-Mu. Semoga Kau mengampuni segala dosa-dosanya dan menjauhkannya dari api neraka. Semoga saja Engkau memberi kami kesempatan sekali lagi untuk berkumpul di barisan Rasulullah kelak dan senyum ibu dapat kulihat lagi. Amiinn Ya Robbal Alamin...

-Cerita ini dibuat untuk memperingati Hari Ibu-
December'06


benernya masi banyak cerpen yang dulu sempat tercipta karena banyak waktu luang..tapi banyak juga yang udah hilang ga tau arahnya hehehe...seandainya aq menemukan lagi cerpen2 itu dan seandainya juga aq punya banyak waktu luang (pluz Internet tersedia) Insya Allah aq posting lagi..
banyak kelemahan dalam cerpen ini jadi yang berniat ngasih komen dan kritik yang membangun monggo...

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates